Popularitas Jokowi Tergerus, Berada Pada Titik Terendah
Popularitas Jokowi Tergerus, Berada Pada Titik Terendah
www.posliputan.com - Kalangan pengamat menyebut popularitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan semakin tergerus dan dinilai berada pada level terendah. Hal ini akibat utang yang terus menumpuk, infrasruktur mangkrak, dan tudingan adanya kriminalisasi ulama. Kebijakan menaikkan harga BBM beberapa bulan dia dilantik sebagai presiden, dan tarif listrik naik sampai 100 persen, juga ikut mendorong tergerusnya popularitas mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
'Akibat semua kebijakannya itu, saat ini popularitas Jokowi jelang Pilpres 2019, baik melalui survei di medsos dan media massa terus mengalami penggerusan. Bahkan sudah berada pada level terendah,' kata peneliti senior dari Network for South East Asian Studies (NSEAS), Muchtar Effendi Harahap kepada Harian Terbit, Minggu (16/7/2017).
Menurutnya, Jokowi juga tak mampu meningkatkan kondisi kinerja urusan sosial ekonomi atau perekonomian nasional. "Indikatornya, beragam subsidi buat rakyat dicabut dan tingkat pertumbuhan tetap sekitar 5 persen, padahal janji kampanye minimal 8 persen. Utang pemerintah terus meningkat dan mendapat kecaman dari kelas menengah perkotaan," papar Muchtar.
Muchtar menuturkan, menurunnya popularitasnya Jokowi itu juga disebabkan adanya upaya melakukan kriminalitas aktivis dan ulama yang anti pemerintah.
Hal senada disampaikan Peneliti Institute For Strategic and Development Studies (ISDS), M. Aminudin, menurutnya, penetapan harga BBM dan Listrik yang terlalu mahal juga membuat popularitas Jokowi amblas.
''Jokowi juga melakukan utang luar negeri yang nilainya ribuan trliunan. Oleh karena itu kini saatnya buruh, mahasiswa dan rakyat bersatu seperti 98 untuk meminta pertanggungjawaban Jokowi,'' kata Aminudin dihubungi, Minggu (16/7/2017).
Sementara itu Ketua Umum Badan Relawan Nusantara, Edysa Girsang Tarigan mengatakan, setelah Indonesia dipimpin Jokowi memang telah membuat resah batin rakyat. Pendapatan mayoritas rakyat tak kunjung membaik. Tapi justru pemerintah selama ini tidak menjalankan cita cita luhur bangsa ini. "Situasi hari ini jauh dari apa yang dimaksud dari perwujudan dari Trisakti dan Negara," paparnya.
Cobaan
Pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Prof. Arbi Sanit mengungkapkan, dua tahun Pemerintahan Jokowi-JK berjalan ini telah mengalami cobaan dari masa ke masa.
''Baik cobaan dari segi demokrasi, lalu kemudian apakah reformasi dan demokrasi di negara bisa bertahan atau tidak nantinya. Soalnya, kebebasan dirasa kebablasan, tidak keberaturan, keterlaluan dan bahkan bisa merusak demokrasi juga mengancam Negara,'' katanya di Jakarta, Minggu (16/7/2017).?
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai bahwa, Jokowi memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan.?
''P?ekerjaan rumah pemerintahan Jokowi di tahun 2017 ini masih sangat banyak yang harus dieksekusi atau dikonkritkan,'' kata Siti Zuhro? di Jakarta, Minggu (16/7/2017).
Hal yang paling mendasar, kata dia, adalah dalam membangun penegakan hukum dan keadilan. Sebab, penegakan hukum sesungguhnya sangat penting dilakukan karena tak hanya sebagai landasan utama bagi pembangunan ekonomi saja tapi juga politik dan sosial budaya.
Terpuruk
? ?Sementara itu, laporan Bank Dunia sempat menyatakan bahwa Indonesia menghadapi dua masalah yang serius dan sulit ditemukan jalan keluarnya. Yaitu, inflasi yang tinggi dan daya beli masyarakat yang turun.
Padahal, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi. Konsumsi menyumbang 53 persen PDB. Kalau daya beli jatuh maka otomatis pajak jatuh.
''Siapa yang memukul daya beli masyarakat? Jokowi sendiri. Pertama, Presiden dengan tanpa ragu ragu dan penuh keberanian menaikkan harga bahan bakar minyak tepat di awal pemerintahanya,''kata analis ekonomi, Salamuddin Daeng, di Jakarta, Minggu (16/7/2017).?
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi yang terjadi sekarang hanya ditopang oleh tambahan utang pemerintah yang bernilai lebih dari Rp1000 triliun dalam 2,5 tahun terakhir, dan kemungkinan Rp1500 triliun dalam 3 tahun anggaran. Sandaran ekonomi pada utang tidak akan berdampak pada penerimaan pajak uang yang berarti. Pada tahap selanjutnya utang akan menjadi beban fiskal.
Sementara, utang tidak digunakan sebagai belanja dalam kegiatan yang menciptakan multiplier effect terhadap ekonomi dalam negeri. Utang sebagian besar digunakan untuk membeli barang-barang impor yang menciptakan dampak berganda bagi keuntungan bagi negara lain.
[...]Setalah membaca, bantu kami menyukai FP Pos Liputan :)
Post a Comment