Header Ads

Sebelum Reformasi Amien Rais, Dilarang Berkumpul Lebih 3 Orang

[...]


www.posliputan.comoleh : Iwan Setiawan (Ketua PWPM DIY dan Dosen UNISA)

Saya termasuk generasi yang pernah hidup dalam zaman orde baru, ikut penataran P4 dan merasakan gejolak reformasi. Tahun 1996 dikampung saya di pinggiran kota jogja datang Ketua PP Muhammadiyah. Beliau mengisi pengajian di Masjid Sulthonain, Nitikan. Saya waktu itu masih SMP kelas 2. Dalam pengajian itu beliau bicara hal yang baru saya pahami setelah SMA: beliau bercerita tentang korporasi yang menyedot emas bahkan uranium di Irian Jaya dan kerusakan yang diakibatkannya, namanya Freeport. Beliau juga bicara soal pemimpin republik yang terlalu berkuasa, soal pentingnya pergantian kekuasaan, istilah suksesi saya dengar di pengajian itu. Ketua PP Muhammadiyah ini bernama Muhammad Amin Rais.

Kekuasaan politik Suharto di masa SMP saya itu memang membuat bulu kuduk berdiri. Di hari-hari jelang pemilu 1997 ada desas-desus masyarakat dilarang berkumpul lebih dari 3 orang, kalau itu dilakukan akan ditangkap ABRI. Hidup mulai pengap. Perlawanan “politik” dari kampung-kampung santri di Jogja terjadi, salah satu simbolnya tidak memilih beringin di Pemilu. Pilihan membawa akibat bentrok fisik. Isu kampung-kampung santri basis partai bintang di Jogja diserang orang-orang bayaran beringin terjadi. Saat pemilu 1997 sudah biasa remaja seperti saya ikut jaga kampung di malam hari, bawa golok dan bawa clurit, sungguh mencekam. Ternyata tahun 1997-1998 merupakan puncak dari angin perubahan di republik ini. Mahasiswa, Intelektual, tokoh Agama dan masyarat mampu memberhentikan Suharto. Pak Amin Rais ikut dalam gerbong reformasi, sebagai lokomotif atau sekedar ikut dalam gerbong, biar sejarah yang akan mencatat.

Setelah reformasi dan saya mulai kuliah, sosok Pak Amin Rais masih saya ikuti beritanya, tapi tidak intens. Saya lebih intens membaca sosok manusia seperti Cak Nur, Gus Dur dan Cak Nun, 3 manusia jenius dari bumi Jombang. Dari tulisan Pak Amin Rais dalam pemikiran keislaman saya bisa kenal Ali Syariati, High Politik dan Tauhid Sosial. Garis besar pemikiran Pak Amin Rais menunjukkan bahwa Islam itu membawa spirit dalam kehidupan, bahwa pemikiran Islam harus diimplementasikan dalam aktivisme keseharian. Saya lebih mengenal Pak Amin sebagai Man of Action daripada Man of Though nya, sangat Muhammadiyah banget.

Pak Amin Rais saat menjadi ketua PAN, Ketua MPR RI ataupun setelah tidak menjabat masih tetap menjadi tokoh yang mudah ditemui. Refleksi Akhir tahun di Masjid Gedhe Kauman, mengundang beliau ngisi pengajian di Nitikan juga di beberapa tempat di Jogja mesti beliau sanggupi dan datang sendiri. Dalam dunia, politik langkah-langkah Pak Amin sering membawa pengaruh di tingkatan jamaah Muhammadiyah: Saat lengsernya Gus Dur dan hubungan NU-Muhammadiyah, Saat tidak akur dengan SBY ataupun yang sekarang soal aliran dana korupsi Alat Kesehatan. Politik memang sering merenggangkan, daripada mempersatukan. Gelar Sengkuni pun kadang disematkan ke Pak Amin Rais dalam langkah-langkah politiknya. Politik memang penuh lumpur dan Pak Amin Rais ada diranah itu.

“Dijiwit dadi kulit, dicethot dadi otot” itu ungkapan yang sering disampaikan Pak Amin Rais. Sikap yang menunjukkan nyali itu perlu diuji, cita-cita itu perlu diperjuangkan, walau harus babak belur dihajar lawan. Dan Pak Amin Rais melaksanakan itu saat sudah mantap dengan pilihannya. Saat kepemimpinan saat ini “dirasa” meminggirkan sebagian umat Islam, Pak Amin Rais hadir untuk mengingatkan, apapun konsekwensinya. [sph]
[...]Setalah membaca, bantu kami menyukai FP Pos Liputan :)

No comments

Powered by Blogger.