Perppu No 2 Tahun 2017 Taktik Penguasa Mengunci Langkah Perlawanan Ormas
Perppu No 2 Tahun 2017 Taktik Penguasa Mengunci Langkah Perlawanan Ormas
www.posliputan.com - Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya menilai, diterbitkannya Perppu No:2/2017 seolah - olah menjadi taktik penguasa mengunci langkah perlawanan Hitbut Tahrir Indonesia (HTI). Karena legal standing yang diajukan HTI untuk menggugat Perppu di MK itupun juga ditakling.
"Hal ini juga bisa berlaku kepada kelompok lainnya. Karena Negara saat ini tengah direpresentasikan tunggal oleh pemerintah, perilaku diktator telah didemonstrasikan sedemikian hipokritnya dalam ruang demokrasi," kata Harist dalam pesannya kepada Harian Terbit, Kamis (20/7/2017).
Harist menuturkan, fenomena ini potensial memicu social disorder, kekacauan yang apabila dimainkan cantik oleh ormas, atau kelompok Islam secara massif dan sistemik dapat berbalik melumpuhkan kekuasaan. Sehingga simpati dan respect umat akan ter-agregasi sedemikian mudah terhadap kelompok yang terdzalimi oleh kekuasaan, bak promosi besar besaran tentang HTI dan gagasannya.
"Dikalangan kelas menengah ke atas dan kaum terpelajar bisa jadi HTI semakin dikenal, didukung dan diikuti, bukan karena status badan hukumnya tetapi karena jati diri gagasan dan gerakan tanpa kekerasan yang menggelinding tanpa dibelenggu lagi oleh UU ormas," jelasnya.
Bagi HTI atau gerakan yang serupa, sambung Harist, maka pencabutan badan hukum ormas tak pernah melemahkan bagi dirinya untuk hadir melebur bersama rakyat (umat). Justru kondisi negara dengan watak diktatorisme menjadi ladang dan semaian subur untuk lahirkan kesadaran politik, kepekaan politik (wa'yu siyasi) meningkat dan kerinduan rakyat terhadap negara yang arif semakin menguat.
Oleh karena itu, lanjut Harist, tak bisa dinafikkan bahwa pengemban ideologi Islam tak pernah surut mundur selangkahpun. Kehidupan perjuangan bukan bergantung kepada secarik SK Badan Hukum. Karena selembar SK itu bukan nyawa, bukan darah, tulang dan daging melainkan hanya asesoris perjuangan. Ruh mereka adalah ideologi, kekuatan dan konsistensi mereka bergantung ruh tersebut ada atau tidak dalam diri mereka.
"Keyakinan dan keberanian mereka melebihi kekhawatiran hilangnya kekuasaan yang tergenggam di tangan rezim," tegasnya.
Harist menilai, pencabutan SK badan hukum dibaca sebagai kemenangan HTI, sesaat panggung kekuasaan menjadi milik mereka. Karena HTI memanen modal sosial berbasis keimanan (faith based organisation) yang mengikat manusia atas dasar kesadaran iman, bukan iming iming harta kekayaan, kedudukan atau jabatan. Karena kelestarian iman yang sama, kerinduan yang sama terhadap negara yang adil, memastikan eksistensinya establis di dada rakyat (umat).
Sehingga rakyat bisa jadi akan melihat bahwa ini adalah seteru antara diktator dengan pahlawan-pahlawan baru. Yang akhirnya kebenaran keluar menjadi pemenang bersama pengusungnya. Dan ibarat teatre panggung, saat ini sedang berlangsung pentas drama dari penguasa panggung. Namun sebenarnya ia tidak pernah menguasai panggung pikiran dan hati publik muslim yang melek politik.
"Tidak ada kekuasaan yang bisa eksis berdiri diatas pundak rakyat yang terdzalimi atas nama diktator ala demokrasi," paparnya.
Kediktatoran atas nama apapun, sambung Harist, akan membuat dalang dan aktornya jauh lebih sakit ketika ia tumbang. Semakin diktator kekuasaan negara dioperasikan maka hakikatnya semakin menumpuk kerapuhan yang puncaknya adalah keruntuhan. Kekuasaan bisa saja mengkriminalisasi kelompok seperti HTI dan semisalnya dengan atas nama demi demokrasi atau apa saja. Namun sejatinya itu langkah awal kristalisasi perjuangan kaum idealis menuju konstruksi sosial yang lebih bermartabat.
[...]Setalah membaca, bantu kami menyukai FP Pos Liputan :)
Post a Comment