Aktivis 98: Jokowi Gagal Urus Negara dan Bikin Rakyat Makin Susah
Aktivis 98: Jokowi Gagal Urus Negara dan Bikin Rakyat Makin Susah
www.posliputan.com - Pemerintahan Jokowi telah membuat hidup rakyat semakin susah. Hal ini terjadi lantaran banyak kebijakan ekonomi yang tak berpihak pada rakyat kecil.
Begitu disampaikan Meilda Pandiangan, aktivis 98 yang tergabung dalam Kaukus Kuningan, Jumat (7/7).
Dikatakan Meilda, saat ini Pemerintahan Jokowi tak bicara mensejahterahkan rakyat tapi lebih banyak pada bicara defisit anggaran. Misalnya, pencabutan subsidi diberbagai sektor ekonomi yang menjadi urat nadi kehidupan rakyat.
"Kok bangsa Indonesia dibawah Pemerintahan Jokowi jadi down grade. Presiden gagal mewujudkan nawacita dalam rangka mensejahterahkan rakyat," kata Meilda
Seharusnya, Presiden Jokowi bisa lebih memikirkan kesejahteraan rakyat ketimbang pembangunan infrastruktur.
"Infrastruktur memang penting tapi jangan juga rakyat dibuat semakin susah," kata Meilda.
Sementara, Irwansyah Iing jurubicara Kaukus Kuningan menambahkan, jelang tiga tahun usia pemerintahan Presiden Jokowi kondisi masyarakat utamanya kelompok masyarakat miskin semakin memprihatinkan.
Masyarakat kian terbebani atas situasi dan kondisi ekonomi yang tak kunjung membaik.
Pemerintah yang sejatinya merupakan pelayan publik dan bekerja meringankan beban rakyat semakin tak terlihat perannya.
Beban yang ditanggung rakyat dari hari ke hari bukannya berkurang, namun malah bertambah.
Iing mengatakan, angka kemiskinan kian tinggi. Data BPS per September 2016 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 10,7 persen.
"Dengan kondisi daya beli masyarakat yang sangat rendah saat ini, kami memperkirakan jumlah penduduk miskin tahun ini lebih tinggi, terutama di daerah perdesaan," kata Iing.
Kemudian kebijakan Pemerintahan Jokowi yang memutuskan untuk melakukan pencabutan subsidi listrik secara bertahap kepada 19,0 juta pelanggan rumah tangga berdaya 900 Volt Ampere (VA) sejak Januari 2017 lalu juga akan memicu bertambahnya penduduk miskin.
Hal ini terjadi karena banyak pelanggan listrik 900 VA ada dalam kategori penduduk hampir miskin, dengan kebijakan berpotensi masuk ke kelompok miskin.
"Tingginya kemiskinan ini diperburuk dengan jumlah pengangguran terbuka yang tinggi," tambah Iing.
Selanjutnya Iing menambahkan, data BPS pada Februari 2016 menyebutkan jumlah pengangguran mencapai 7,02 juta orang. Kami melihat pengangguran tahun ini akan lebih besar.
"Kita saksikan di desa-desa banyak sekali pemuda menganggur. Proyek Infrstruktur yang digembar-gemborkan pemerintah tak mampu menyerap para penganggur yang ada," kata Iing.
Menurut Iing ketimpangan kesejahteraan yang besar. Jurang antara si kaya dan si miskin semakin Iebar berpotensi menyebabkan permasalahan sosial.
Bank Dunia mencatat tahun 2015 ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan gini ratio mencapai 0,42.
"Angka ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah sejak republik ini berdiri. Tahun 2017, potensi ketimpangan itu justru kami Iihat makin melebar," ujarnta.
Penguasaan aset, tambah Iing baik berupa tanah dan properti juga sangat timpang. Gini ratio penguasaan tanah di lndonesia sekitar 0,58.
Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 59 persensumber daya agraria, tanah, dan ruang.
Bahkan data Oxfam organisaSi nirlaba yang fokus pada pembangunan penanggulangan bencana melansir, kekayaan kolektif empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar USD 25 miliar, setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin.
"Kondisi ini sangat menyedihkan," ujar Iing.
Belum lagi, kata Iing, utang pemerintah yang semakin besar. Berdasarkan data akhir Mei 2017, posisi utang pemerintah sudah mencapai Rp 3.672 triliun.
Angka ini meionjak Rp 1.069 triliun dibandingkan dengan posisi utang pada akhir 2014 lalu, saat Jokowi-JK mulai berkuasa. Utang ini akan terus bertambah.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017, pemerintah mengusulkan penambahan utang melalui penerbitan surat berharga negara (SBN).
Sebagai catatan pemerintah mematok defisit anggaran kita 2,67 persen pada RAPBN-P 2017 Iebih tinggi dari angka 2,41 persen di APBN 2017.
"Semua persoalan bangsa ini karena kegagalan Jokowi sebagai Presiden mengelola negara. Sikap ini adalah kritis keras kami pada Jokowi seharusnya kalau memang tidak sanggup lempar handuk saja," pungkas Iing. [opinibangsa.id / rmol]
[...]Setalah membaca, bantu kami menyukai FP Pos Liputan :)
Post a Comment